Sharing Untold Story (Orang tua dari anak berkebutuhan khusus)
Diantara kita pasti setuju dengan ungkapan di atas, bahwa Anak adalah anugerah atau berkat dari Tuhan, anak-anak menjadikan hidup kita sebagai orang tua lebih berarti. Tapi, bagaimana bila Tuhan memberi putra atau putri yang sedikit berbeda dengan anak-anak yang lain? Dear Mom & Dad, dalam Inspirasi Sehat kali ini, kita akan sharing tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Bagaimana lika-liku yang dihadapi anak dan bagaimana orang tua menyikapinya? Mau tahu ceritanya? Yuk kita baca sama-sama…berikut sharing dari ayah dan mamah Keenan, Mamah Rezkina, Bunda Gabriel, dan Embu Joy.
Keenan
Kami adalah orang tua dari Keenan, seorang putra berusia 8 tahun. Keenan terlahir normal, pada awalnya semua berjalan lancar, Keenan tumbuh seperti anak-anak pada umumnya. Hingga usia 2 tahun 6 bulan, kami menyadari ada yang berbeda dengan Keenan. Keenan sedikit sekali berbicara, jarang mengobrol dengan orang lain. Kami sebagai orang tua masih berharap bahwa dengan berjalannya waktu mungkin Keenan akan tumbuh dan berkembang seperti anak-anak yang lain. Kami akui respon kami agak lambat. Kami menunggu perkembangan Keenan kearah yang lebih baik. Hingga akhirnya saat usia Kenaan 4 tahun, kami memutuskan membawa Keenan ke sebuah layanan anak-anak berkebutuhan khusus. Di sana Keenan disarankan untuk MRI, dan hasilnya menurut dokter Keenan pernah kejang sekitar 0,6 detik. Ukuran waktu yang sangat singkat, namun kejang tersebut sudah merusak sebagian syaraf Keenan, dan menyebabkan gangguan motorik dan sensorik yang tidak seimbang. Betapa kejang yang sebentar saja sangat berpengaruh pada kehidupan Keenan selanjutnya. Kami jadi mengerti, bahwa inilah yang menyebabkan anak kami jadi banyak diam, tidak reaktif terhadap lingkungan dan kurang fokus.
Kami sebagai orang tua sedih, sempat kecewa terhadap diri kami sendiri, kami akui…kami terlambat. Namun kami tidak mau menyerah. Kami ingin Keenan tumbuh menjadi anak yang baik dan memiliki tumbuh kembang yang optimal bagaimanapun keadaannya saat itu. Dokter memberikan kami harapan, bahwa Keenan bisa tumbuh dengan lebih baik bila Keenan melakukan latihan. Latihan yang dimaksud adalah melalui fisioterapi, melatih motorik kasar anak. Keenan mulai belajar latihan fisik ringan seperti berguling, sekilas seperti sedang bermain, ya…memang seperti bermain, tapi semua gerakan dimaksudkan untuk menstimulasi semua sensori dan motorik pada tubuh.
Keenan mengikuti fisioterapi selama 2 tahun, dilanjutkan dengan okupasi terapi selama 6 bulan. Setelah ada BPJS kami memindahkan Keenan dari tempat terapi yang lama. Dan sekarang Keenan mengikuti terapi okupasi dan terapi wicara di RS Santo Yusup. Banyak hal yang sudah dilewati Keenan selama proses terapi ini. Kami lihat bagaimana perjuangan Keenan untuk melewati hari-hari yang butuh penyesuaian.Pernah sekali waktu kami lihat Keenan muntah hebat ketika pertama kali menyentuh malam (clay).
Bagi anak-anak lain, malam hanya sebuah mainan, tapi bagi Keenan malam seperti sebuah benda yang menjijikan, butuh waktu yang tidak sebentar bagi Keenan untuk membiasakan diri dengan malam, butuh waktu bagi Keenan untuk menyadari bahwa malam adalah sarana bermain yang menyenangkan.
Kami bersyukur banyak kemajuan yang dialami Keenan setelah mengikuti terapi, tidak hanya Keenan yang belajar dan menyesuaikan diri. Kami, orang tua dan keluargapun turut belajar. Kami sama-sama belajar menghadapi keadaan ini dengan sabar dan optimis. Keenan butuh support dari kami khususnya sebagai orang tua dan juga lingkungan. Tak jarang terapis pun memberikan tugas bagi kami orang tua. Tugas yang sering kami sebut PR, tugas melatih Keenan di rumah.Terapis melatih Keenan 2x seminggu, dan kamilah terapis Keenan di rumah. Orang tua atau keluarga adalah pasukan terdepan dalam mewujudkan keberhasilan proses terapi. Tidak berhenti oleh terapis saja. Latihan-latihan yang dikerjakan terapis di RS, harus juga dilanjutkan oleh orang tua di rumah. Seperti apa PR-nya, tidak sulit, kami hanya menemani Keenan bermain, tidak cukup menemani tapi kami juga turut bermain, ikut terlibat dalam permainan. Dari permainan seperti lempar bola, Keenan belajar fokus terhadap bola, mainannya, belajar fokus terhadap kami orang disekitarnya dan juga lingkungannya.
Ada satu kejadian yang membuat kami begitu terpesona dengan Keenan, saat itu usia Keenan 5 tahun. Suatu kali kami dan Keenan mengunjungi toko mainan. Di sana Keenan menunjuk sebuah mainan dan mengatakan “mau”. Rupanya ia meminta kami membelikannya Lego, sesampainya di rumah kami kira Lego itu akan dimainkannya, tetapi ternyata tidak. Beberapa kali kami berkunjung ke toko mainan itu, Keenan selalu meminta lego, dan saya pun selalu membelikannya, tetapi di rumah lego itu ia diamkan saja sampai 5 bulan. Karena kesal suami sayapun berbicara pada Keenan, dan bertanya pada Keenan, mengapa ia tak memainkan lego-lego tersebut, namun Keenan tak merespon, Keenan tetap diam. Beberapa hari kemudian, kami lihat Keenan membawa minum dan makanan ke kamar, lalu menutup pintu kamar. Setelah beberapa lama, kami buka pintu kamar Keenan, dan saya kaget dengan apa yang sedang Keenan lakukan, Keenan sedang membuat sebuah maket rumah dari lego-lego yang kami belikan, maket itu sudah setengah jadi. Kami mencoba mengingat kembali, kami pernah mengajak Keenan ke sebuah pameran properti. Rupanya ia merekam kejadian itu, dan keenan membuat maket rumah dengan legonya. Spontan kami menangis, bagi anak-anak lain sangat biasa bermain lego, tapi untuk Keenan, kami merasa itu sangat luar biasa, dan kami sangat bahagia hari itu.
Kini Keenan berusia 8 tahun, sudah duduk di bangku kelas 1 SD. Keenan senang sekali menggambar dan mewarnai. Keenan bersekolah di sekolah Umum, dengan pendampingan dari satu guru khusus dan ia tampak sangat menikmati proses belajarnya di sekolah. Keenan memang belum banyak bicara seperti anak-anak yang lain, namun Keenan sekarang sudah lebih mampu berinteraksi dengan orang lain, di rumah Keenan punya sahabat terdekat yaitu adiknya berusia 5 tahun, mereka selalu bermain bersama, melakukan segala sesuatu bersama, sehingga sekilas seperti anak kembar.
Pesan kami untuk semua orang tua, khususnya yang memiliki anak berkebutuhan khusus, tetap sabar, tetap optimis, telaten, tidak boleh menyerah, anak-anak sangat sensitif, jangan sampai melukai perasaan mereka, walau adakalanya kita lelah dengan keadaan anak kita, tetap perlakukan mereka sesuai dengan kebutuhannya, tetap kasihi mereka, tetap bantu mereka, tapi juga tetap ajari mereka kemandirian.
Harapan kami untuk lingkungan, jangan menganggap aneh anak-anak berkebutuhan khusus. Setiap anak adalah istimewa, setiap anak adalah anugerah dari Tuhan bagaimanapun keadaannya, anggaplah sama dengan anak-anak lain pada umumnya dan jangan membeda-bedakan.
Untuk pemerintah, kami harap pemerintah dapat menyediakan layanan atau fasilitas publik yang dapat menunjang tumbuh kembang anak-anak seperti Keenan. Seperti taman bermain yang di sesuaikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus, taman bermain yang dapat menstimulasi setiap panca indra, menstimulasi sensorik dan motorik anak-anak. Selain itu perlu adanya edukasi dari pemerintah terhadap masyarakat tentang anak-anak ini, bagaimana memperlakukan anak-anak dengan baik.
—
Rezkina
Putri saya bernama Rezkina bulan April yang lalu genap berusia 6 tahun. Rezkina lahir prematur saat usia kandungan 7 bulan lebih 1 minggu. Rezkina adalah anak kedua saya.Pertama kali mengetahui ada yang berbeda saat saya membawa anak saya untuk imunisasi, saat itu usianya baru 4 bulan. Kala itu dokter spesialis anak mengatakan bahwa ada sesuatu di syaraf Rezkina, bola mata Rezkina selalu bergerak-gerak, dokter menyebutnya Nektutus (tidak focus). Dokter menyarankan saya untuk melakukan CT Scan pada Rezkina, tapi karena terbentur biaya, saya baru bisa melakukan CT Scan kepala saat Rezkina berusia 9 bulan. Dari hasil tersebut dicurigai adanya penumpukan cairan dalam otak (curiga Hydrosephalus). Dengan hasil tersebut saya bawa anak saya ke sebuah layanan Anak berkebutuhan khusus, di sana kami melakukan beberapa test, mulai dari EEG, konsultasi dengan dokter anak, dan juga dengan psikolog anak. Dari semua hasil tersebut, Rezkina di sarankan untuk mengikuti terapi, Fisioterapi, OkupasiTerapi dan Terapi Wicara. Namun sekali lagi karena biaya, saya dan suami memutuskan untuk tidak ikut terapi.Terus terang bagi kami biayanya sangat mahal. Kami memutuskan membawa Rezkina ke sebuah klinik pengobatan alternatif, di sana Rezkina dipijat. Sekitar 2-3 tahun ikut pengobatan alternatif, saya lihat tidak ada perkembangan yang berarti. Sampai suatu kali setelah dipijat ada bagian tubuh Rezkina yang kebiruan, ia tampak kesakitan, akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan pengobatan alternatif terhadap Rezkina.
Tumbuh kembang anak kami memang berbeda dengan anak yang lain. Rezkina tidak melewati proses merangkak, usia 9 bulan langsung bisa duduk. Rezkina banyak diam, awalnya saya merasa bahwa sikap diamnya karena memang sifat pendiam, karena memang Rezkina sedikit sekali berinteraksi dengan orang lain, saya tidak pernah mengijinkan anak saya main keluar rumah.Namun setelah mendapatkan penjelasan dari dokter anak, kami tahu bahwa Rezkina memang mengalami keterlambatan.Usia 1 tahun saat anak-anak lain bisa berjalan, Rezkina belum bisa berjalan, tidak banyak bicara, diam saja dan bola matanya selalu bergerak-gerak.
Desember 2015 setelah saya ikut BPJS, kami kembali ke dokter anak. Dokter anak menyarankan agar Rezkina diperiksa oleh dokter spesialis mata di Cicendo, di sana Rezkina menjalani tes EERG, hasil tersebut mengharuskan Rezkina memakai kaca mata. Selain dokter mata, juga konsultasi dengan dokter bedah syaraf, kali ini kami memilih dr. Pieter M.J. Liklikwatil, Sp.BS di RS St Yusup. dr. Pieter, SP.BS menyarankan untuk CT Scan,dan setelah 2 kali CTScan, ternyata cairan dalam otak Rezkina tidak bertambah, jumlahnya tetap sama, jadi menurut dokter belum memerlukan operasi. Tapi masih harus kontrol 1 tahun sekali untuk CT Scan kepala. Dibulan yang sama Rezkina juga diperiksa oleh dokter THT untuk mengetahui penyebab belum bisa bicara dan banyak diam. Menurut dr. Langlang M.Kes,Sp.THT-KLdi RS St Yusup, Rezkina harus di tes BERRA untuk tes pendengaran. Hasil tes BERRA menyatakan pendengaran Rezkina sangat baik.
Mulai bulan Januari 2016, Rezkina mulai mengikuti terapi di RS Santo Yusup, meliputi Fisioterapi, Terapi Okupasi dan Terapi Wicara. Perkembangannya cukup pesat, awal bulan Maret lalu, Rezkina sudah mulai bisa berjalan, bersosialisasi dengan lingkungan dan mau mengobrol. Mulai bulan Mei ini, terapi wicara dihentikan, karena menurut dr. Shanti, Sp.KFR kemampuan bicara Rezkina sudah berkembang dengan cukup pesat, Rezkina dijadwalkan untuk Terapi Okupasi dan Fisioterapi saja. Saat ini anak saya memang masih ada keterbatasan, selain bolamata yang masih bergerak-gerak, tangan kiri dan kaki kirinya lebih lemah daripada kaki dan tangan kanan. Sekarang Rezkina memakai alat untuk menopang dan melatih tangan kiri yang disebut splint.Namun, sungguh alhamdulilah perkembangan anak saya menuju kearah yang lebih positif, Rezkina sekarang sekolah di PAUD, sudah bisa berinteraksi dengan orang lain, sudah bisa menghapal doa-doa pendek, seperti doa makan, sudah berani pimpin doa di sekolah.
Saya sangat bersyukur dengan adanya BPJS, sangat membantu saya dalam terapi, biaya terapi itu tidak murah, Rezkina saja di awal membutuhkan 3 kali terapi dalam seminggu, bila tidak ada BPJS saya hanya mampu ikut satu terapi untuk Rezkina. Namun kini Rezkina sudah bisa ikut terapi sesuai yang dijadwalkan oleh dokter rehabilitasi medik.Saya sangat senang dan bersyukur. Tapi kalau boleh saya juga meminta kepada pemerintah melalui BPJS ada bantuan bagi anak-anak seperti yang membutuhkan alat bantu tangan atau alat bantu kaki, mungkin ada bantuan secara full. Alat bantu tersebut sangat mahal. Mungkin kedepannya akan ada alokasi dana dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan alat bantu, seperti splint untuk tangan,sepatu koreksi untuk anak-anak dengan kelainan kaki, alat bantu dengar kalau bisa ditanggung sepenuhnya.
Untuk masyarakat, saya mohon sebagai orang tua, tolong perlakukan anak-anak kami seperti Anda memperlakukan anak Anda yang normal. Anak kami memang sedikit berbeda namun anak kami sama istimewanya seperti anak-anak Anda. Ada kalanya Rezkina dipandang dengan tatapan yang aneh atau ada juga yang mengata-ngatai. Saya mencintai anak saya apa adanya, saya berupaya menerima pemberian Tuhan sebagai anugerah, bagaimanapun bentuknya. Semoga masyarakatpun mau menerima anak-anak kami dengan cara yang sama seperti kami memandang mereka.
—–
Gabriel
Anak saya bernama Gabriel Olan berumur 5 tahun. Pertama kali mengetahui dan menyadari ada yang berbeda, saat anak saya berumur 4 bulan, saat sedang menyusu tiba-tiba Gabriel tersedak dan wajahnya menjadi biru.Saat itu saya segera membawa anak saya ke bidan terdekat dan diberikan pertolongan pertama (suction/sedot dahak dan diberi oksigen). Setelah itu semua berjalan seperti biasa saja sampai pada suatu hari saat anak saya sedang digendong oleh neneknya dan saya tinggal sebentar untuk fotokopi, waktu saya kembali saya mendapat laporan bahwa tadi anak saya kejang. Saya heran dan kaget karena waktu itu saya melihat kondisi anak saya biasa saja, tertidur, tidak panas, tidak batuk/pilek.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengobservasi saja dulu keadaan anak saya.Ternyata sore harinya anak saya kejang lagi dan kali ini saya menyaksikan keadaan tersebut. Segera saya bawa anak saya ke RS Santo Yusup dan diopname. Setelah kejadian itu hampir tiap bulan anak saya keluar masuk RS untuk opname karena kejang tanpa demam, puncaknya saat anak saya berumur kurang lebih 6 bulan, dalam satu hari dia kejang sampai kurang lebih 6x, saat itu dokter saraf yang menangani anak saya mengatakan bahwa anak saya harus masuk PICU/NICU untuk observasi dan monitoring karena akan diberi obat kutoin (obat untuk menghentikan kejang).
Hancur hati saya saat itu, saya merasa dunia ini seperti runtuh dan saya tidak sanggup untuk berdiri, baru pertama kali saya merasakan menjadi orang tua pasien yang harus memutuskan segera tindakan medis terhadap anaknya dalam kasus emergensi. Banyak pikiran yang berkecamuk di dalam benak saya saat itu antara kondisi anak saya yang membutuhkan perawatan segera dengan kondisi biaya yang kami miliki saat itu dan pemikiran biaya kedepannya, setelah bernegosiasi dengan dokter yang merawat, akhirnya anak saya boleh dirawat di ruang biasa (isolasi) dan tetap diberikan obat kutoin tersebut asalkan ada monitor dengan pendampingan dokter jaga ruangan saat pemberian obat tersebut.
Setelah mendapatkan penjelasan tentang penyakit anak saya dari dokter yang merawat, awalnya saya hanya berpikir bahwa yang perlu ditangani adalah kejangnya saja, karena menurut dokter apabila dalam 2 tahun anak saya tidak ada kejang maka diagnosanya bisa saja gugur, tapi masalah tidak berhenti sampai disitu saja. Anak saya bebas kejang selama 2 tahun, tapi perkembangan motoriknya terlambat. Anak saya belum bisa bicara dan berjalan. Akhirnya dokter menyarankan untuk menjalani terapi.Waktu itu RS Santo Yusup belum memiliki rehabilitasi medik seperti sekarang ini, sehingga saya harus melakukan terapi di RS Santo Borromeus. Enam bulan kami menjalani terapi tetapi tidak terlalu banyak perkembangan yang terjadi bahkan seperti sudah mengerti, tiap kali berangkat terapi anak saya selalu menangis.
Pernah sekali waktu baru saja kami sampai di RS Santo Borromeus, kami langsung pulang, karena anak saya mengamuk dan menangis sejadi-jadinya. Mungkin faktor kelelahan juga ikut berpengaruh terhadap anak kami ini, sebab jadwal terapi anak saya jam 7 pagi, kami harus berangkat dari rumah jam 6 pagi dengan kendaraan umum sementara saat itu mungkin dia masih mengantuk. Akhirnya terapi sempat kami hentikan dan kami beralih ke pijat tradisional, disini anak saya mendapat beberapa kemajuan seperti yang tadinya tidak berespon terhadap rangsang suara, baru dua kali pijat dia sudah dapat merespon suara-suara yang muncul disekitarnya dan menunjukkan ekspresi wajah yang mengisyaratkan bahwa dia mengerti apa yang dibicarakan orang-orang disekitarnya. Hampir 1 tahun kami memutuskan terapi lewat jalur non medis, tetapi akhirnya kami sebagai orang tua berpikir bahwa jalur medis tetap harus dilakukan, kebetulan RS Santo Yusup mulai membuka rehabilitasi medik untuk tumbuh kembang anak, hingga saat ini kami masih melakukan terapi di RS Santo Yusup (Okupasi Terapi, Fisioterapi, Terapi Wicara). Walaupun berjalan lambat, tetapi anak saya sekarang sudah memiliki kemajuan yang cukup lumayan, mulai dari kekuatan otot tangan, leher (walaupun masih sering lemas)
Respon lingkungan terhadap anak saya memang tidak seindah yang kita harapkan, apalagi saat ini dilingkungan kami masih sedikit orang yang mengalami penyakit seperti ini, sehingga mereka banyak yang memandang aneh terhadap anak saya ini dan bertanya kenapa bisa seperti itu. Biasanya pertanyaan yang muncul adalah :“Kok sudah besar masih digendong-gendong?”Awalnya saya sedih, malu dan risih dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan pandangan orang terhadap kami.Tetapi saya masih beruntung memiliki suami dan keluarga yang begitu mendukung saya dan selalu memberikan support terhadap keluarga kecil kami, sehingga kami bisa tegar dan mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan orang di sekitar kami. Saat ini yang menjadi pemikiran utama kami adalah bagaimana kami dapat memberikan kasih sayang yang besar terhadap anak kami ini sehingga dia pun dapat survive dengan kondisinya saat ini, kami masih sangat berharap mujizat Tuhan terjadi terhadap anak kami ini, dia dapat berbicara, berjalan dan hidup mandiri.
Saya berharap lingkungan dapat menerima/memahami anak-anakyang berkebutuhan khusus dengan mendukung mereka secara moril. Tidak memandang aneh bahkan rendah terhadap mereka. Untuk pemerintah, saya berharap semoga lebih banyak lagi disediakan fasilitas latihan/rehabilitasi medik untuk tumbuh kembang bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti ini, dan mengingat sangat perlunya latihan yang intens hendaknya dari pihak pemerintah dalam hal ini BPJS tidak membatasi jumlah latihan yang diprogramkan tiap minggunya karena pasien dengan CP (cerebral palsy) biasanya sudah punya program sendiri dari dokter rehabilitasi mediknya sehingga tidak menghambat latihan anak dan tidak memberatkan bagi keluarga dari segi biaya.
Pesan untuk orang tua sesama penderita celebral palsy, agar lebih sabar dan kuat menghadapi keadaan yang terjadi di dalam keluarga. Perlakukan anak kita seperti anak normal (dalam hal kasih sayang, cara berkomunikasi dll.) sehingga mereka tidak merasa terkucilkan dari lingkungan sekitar, percayalah bahwa Tuhan memberikan kita kepercayaan yang begitu besar berarti Tuhan melihat bahwa kita mampu melewati/mengatasi semua itu, tetap semangat dan berdoa, pasrah pada kehendak Tuhan sebab semua akan indah pada waktunya.
—
Joy
Joy adalah anak laki-laki berumur 3 tahun 9 bulan. Joy terlahir melalui operasi caesar dikarenakan perdarahan hebat saat proses melahirkan. Tidak ada yang aneh saat Joy lahir, Joy lahir sempurna, semua terlihat normal, dokter anak yang membantu kelahirannya pun mengatakan Joy baik. Bertambahnya umur Joy, kemampuan Joy seperti anak normal lainnya, di usia 4 bulan Joy sudah mulai tengkurap. Ketika umur 6 bulan, saya menyadari ada yang berbeda dengan kepala Joy, ukurannya semakin hari semakin membesar, saat 6,5 bulan, kepala Joy semakin besar, bola mata Joy tertarik kebawah (sunset eyes).
Karena kepala yang semakin berat, Joy tidak dapat bergerak, Joy tak dapat lagi miring ataupun tengkurap, Joy hanya bisa tidur dan selalu menangis, saya tahu Joy menahan sakit di kepalanya. Saya mulai curiga bahwa Joy mengalami gangguan di otak, yang menyebabkan kepalanya semakin membesar.Sebelumnyasaya pernah membaca tentang penyakit seperti yang diderita Joy, saya putuskan bawa Joy menemui dr. Roy, Sp.A di RS Santo Yusup. Kepala Joy diukur, didapati kepala Joy seperti ukuran kepala orang dewasa. dr. Roy, Sp.A menyarankan untuk dilakukan CT Scan kepala, hasilnya seperti dugaan saya, Joy menderita hydrochepalus. Akhirnya kami menemui dr. Pieter M.J. Liklikwatil, Sp.BS di RS Santo Yusup. Menurut dokter, Joy harus segera dioperasi untuk mengurangi penumpukan cairan dalam otak, agar jaringan otak Joy dapat berkembang dengan baik.
Usia 7 bulan Joy dioperasi, beruntung Joy mendapatkan bantuan dari sebuah Yayasan Sosial untuk biaya operasi. Dengan kebaikan Tuhan dan tangan dingin dr. Pieter, Sp.BS, operasi Joy berjalan lancar. Dan perjuangan kami baru saja dimulai, 2 bulan setelah operasi (usia Joy 9 bulan), Joy tak dapat berespon pada cahaya, Joy tidak dapat melihat saya, Joy dapat merespon terhadap suara saya, tapi tidak tahu keberadaan saya.
Kami menemui dokter spesialis mata Anak di sebuah RS swasta di Bandung, setelah dilakukan tes, Joy dinyatakan buta. Saya sedih, saya menangis, sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa Joy kami buta. Tapi dokter memberi pengharapan kepada saya “Ibu, saat ini keadaan anak ibu memang dinyatakan buta, karena seperti yang ibu lihat tadi, saat saya melakukan tes di ruang gelap, Joy tidak berespon sama sekali terhadap cahaya.Tetapi masih ada harapan bu, pada saat belum di operasi sel-sel otak Joy terdesak oleh penumpukan cairan, sehingga sel-sel syaraf penglihatannya tidak berkembang dengan baik. Tapi kita sama-sama berharap dan berdoa yang terbaik kepada Tuhan ya bu,Joy saat ini sudah dioperasi, dengan berjalannya waktu cairan dalam otak Joy akan berkurang, dengan begitu sel-sel dalam otak Joy akan tumbuh dan berkembang, semoga sel-sel syaraf penglihatan Joy juga membaik, kemungkinan Joy dapat melihat sangat besar. Tapi ibu, kalaupun ternyata Tuhan tidak memberikan kemampuan Joy untuk melihat, ibu tidak boleh berkecil hati, bukankah Tuhan mengasihi Joy melebihi siapapun, saya percaya Tuhan tetap beserta Joy, Tuhan akan memberikan kelebihan bagi Joy di sisi yang lain. Setiap manusia kan diberikan Tuhan kelebihan dan kekurangan. Ibu harus tetap percaya bahwa rencana Tuhan terhadap hidup Joy adalah rencana yang indah.”
Pesan dari dokter spesialis mata tersebut menguatkan saya untuk tetap semangat dan optimis. Mulai usia 9 bulan, Joy mengikuti fisioterapi di sebuah RS swasta di Bandung. Di sana motorik kasar Joy di latih agar dapat berkembang. Joy sudah mulai bisa miring ke kiri dan kekanan di usia 1 tahun, bersamaan dengan itu, Joy pun dapat mengikuti arah benda-benda berwarna terang, itu artinya Joy mulai dapat melihat. Adakalanya saya putus asa, adakalanya saya merasa capek, adakalanya saya bertanya-tanya sampai kapan Joy harus seperti ini. Namun setiap kali saya ingin menyerah, tatapan mata Joy mengingatkan saya untuk tetap dalam pengharapan.Dan sayapun bangkit kembali. Usia 15 bulan Joy dapat tengkurap, perlahan mulai merangkak, dan akhirnya Joy dapat berjalan di usia 1 tahun 8 bulan.Saya sangat senang, Tuhan mengijinkan saya melihat 3 langkah pertamanya, saya bahagia Tuhan ijinkan saya melihat 5 langkah pertamanya dan saya sangat bersyukur, Tuhan ijinkan saya melihat 10 langkah pertamanya.
Karena terbentur biaya, saya sempat menghentikan terapi Joy. Puji Tuhan dengan adanya BPJS, Joy bisa kembali ikut terapi. Saat ini Joy mengikuti terapi okupasi dan terapi wicara di RS Santo Yusup. RS Santo Yusup cukup memfasilitasi kebutuhan terapi dari anak-anak seperti Joy melalui BPJS. Sekarang Joy 3 tahun 9 bulan, Joy sudah bisa berlari, menyanyi, bersalaman dengan orang lain, sudah berani naik ayunan sendiri, sudah berani berdiri di motor matic, dibagian depan. Ada saat-saat dimana dulu Joy histeris ketakutan dengan orang yang baru pertama kali bertemu. Tapi sekarang sudah tidak lagi, Joy sudah mulai bisa mengatakan permintaan dengan kata-kata sederhana “Ibu pipis” memberitahu kalau ingin BAK, “Pengin susu” ketika haus, “Engga mau papung” ketika menolak mandi,”Mau turun, mau keluar”, ketika ingin keluar rumah.
Dibandingkan dengan kemampuan anak-anak normal seusianya, Joy memang jauh tertinggal, tapi saya percaya Joyakan mampu melewati setiap tahapan ini dengan baik. Ini adalah harapan saya, sebagai embu yang merawat Joy, sebagai embu dengan anak berkebutuhan khusus. Tak terbilang yang menatap Joy dengan tatapan yang aneh, komentar nyinyir, namun dari semua ada satu perkataan yang membuat saya sedih, saat seseorang mengatakan”Kasihan ya Joy”. Kata-kata tersebut jujur melukai harga diri saya.Saya tidak ingin Joy memiliki mental “dikasihani”. Saya ingin Joy bisa seperti anak-anak yang lain, saya berharap Joy setidaknya bisa hidup mandiri. Saya berharap masyarakat dapat memandang Joy atau anak-anak berkebutuhan khusus seperti memandang anak-anak normal. Joy memang tidak mampu mengungkapkan perasaannya, namun anak-anak seperti Joy memiliki perasaan yang sensitif, mereka mampu merasakan ketulusan dan kejujuran dari sekelilingnya. Semoga masyarakat mampu melihat Joy sebagai satu pribadi yang utuh, pribadi yang walau memiliki kekurangan tapi juga memiliki kelebihan. Walau memiliki keterbatasan, namun tidak dipandang sebagai sesuatu yang aneh, mengganggu dan sebagai beban. Pandanglah anak-anak kami dengan kasih seperti anda memandang anak-anak Anda.
Untuk pemerintah, saya berharap semakin proaktif terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak seperti Joy dengan keterbatasan fisik yang berbeda-beda mungkin sangat banyak jumlahnya di luar sana. Sekiranya ada gerakan dari pemerintah untuk menjaring setiap anak-anak ini, terdata, dan terdeteksi sedini mungkin, sehingga dapat segera mendapatkan layanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan, dan pada akhirnya generasi selanjutnya dapat hidup secara optimal.
Demikian sharing dari super Mom & Super Dad. Mengapa saya sebut demikian? Tuhan memberikan setiap anak sebagai anugerah, bagaimanapun bentuknya dan bagaimanapun keadaan anak-anak kita. Ketika kita tetap berkomitmen menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kita dengan segala tantangan yang di lewati disanalah saya rasa, kita sedang di proses menjadi Super Mom & Super Dad.
Terima kasih untuk mamah dan papah Keenan, terima kasih untuk mamah Rezkina, Bunda Gabriel dan Embu Joy untuk sharing yang menyentuh. Semoga setiap orang tua, atau calon orang tua semakin dikuatkan dengan sharing ini. Khususnya setiap orang tua dengan anak berkebutuhan khusus semoga semakin optimis, tetap semangat dan tetap berpengharapan bagaimana pun keadaan anak-anak kita.
(Elisabeth Dyah Y,AMK)