Psikologi Anak
Anak melihat dunia ini begitu menarik karena banyak hal yang ingin dieksplorasi. Kita sebagai orang tua karena dorongan naluri tak ingin melihat anak bersedih, selalu ingin membahagiakan anak maka kita cenderung bersikap permisif, selalu menyetujui apa yang menjadi kehendak anak atau justru selalu melarang anak karena takut ia terluka. Wajar bila seorang anak menginginkan banyak hal dalam hidupnya sehingga anak nampak penuntut, keras kepala, ataupun membangkang. Slogan “Anak penurut adalah anak pintar” maupun “anak yang nakal adalah anak banyak akal” adalah penghiburan semu yang sering digunakan orang tua karena yang tepat adalah anak yang dapat bekerja sama adalah anak hebat.
Agar di 5 tahun pertama anak benar-benar menjadi masa golden age, dimana terbentuk karakter anak yang dapat bekerja sama sebagai anak hebat maka perlu peraturan yang jelas untuk melakukan eksplorasi lingkungan. Peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak, baik secara keselamatan fisik maupun psikisnya sehingga tumbuh kembangnya tetap optimal di masa yang akan datang. Peraturan bukan saja mengenai yang tidak boleh dan yang boleh dilakukan anak namun juga untuk orang dewasa yang ada di sekitar anak. Peraturan yang dibuat harus menyesuaikan usia anak agar dapat dipahami secara logika dan diterima secara emosional oleh anak. Oleh sebab itu, harus memperhatikan karakteristik aspek psikologi anak, yaitu aspek kognitif, motorik, emosi, sosial, dan moral.
ASPEK KOGNITIF
Aspek ini meliputi kemampuan anak untuk memahami bahasa, memahami hubungan sebab akibat suatu peristiwa, memahami usaha antisipasi dan melakukan prediksi. Kemampuan ini tidak serta merta dimiliki anak namun perlu pembelajaran dan bimbingan dari lingkungan, khususnya orang tua. Pada usia 1 – 2 tahun adalah masa aktif anak untuk mempelajari benda di sekitarnya, seperti mengenai warna, sifat, fungsi dan cara penggunaannya. Di usia 1,5 tahun anak mulai belajar berbicara.
Jumlah kata yang diproduksi anak dalam 1 kalimat akan bertambah dengan proses belajar. Oleh sebab itu, orang tua harus memberi kesempatan anak untuk mengucapkan kata yang dimaksud, mengajarkan pengucapan kata dan susunan kalimat yang tepat.
Terkadang sikap orang tua atau pengasuh kurang sabar untuk menunggu anak mengucapkan kata/kalimat sehingga langsung melayani permintaannya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan bahasa untuk anak, anak menjadi enggan mencoba berbicara dan cenderung merengek.
Penjelasan dengan disertai contoh nyata akan lebih mudah dipahami anak usia 2 – 5 tahun, misalnya saat berlari dan terjatuh. Memberikan pertolongan terhadap luka fisik yang dialami anak adalah penting namun tak kalah pentingnya adalah pertolongan psikologis. Artinya bantulah anak untuk memahami mengapa ia sampai terjatuh, apakah karena ia menggunakan sandal atau sepatu yang terlalu besar untuk kakinya, apakah ia berlari di tanah yang berpasir, apakah ia berlari di jalan yang menurun dsb. Dengan demikian anak juga akan belajar memahami apa yang harus dilakukannya agar selamat. Mengijinkan anak untuk menangis saat merasa sakit bukanlah aib, termasuk bila dilakukan oleh anak laki-laki sekalipun karena menangis adalah respon alamiah manusia untuk meredakan emosi saat merasa sedih ataupun sakit. Namun juga ajaklah anak untuk memahami bahwa bila menangis saja maka luka tidak akan sembuh karena ada yang lebih penting dilakukan dari sekedar menangis yaitu membersihkan dan mengobati luka. Perkembangan aspek kognitif sejalan dengan perkembangan bahasa oleh sebab itu berikanlah penjelasan ke anak dengan kalimat yang sederhana dan intonasi jelas namun tidak menyudutkan anak. Ekspresi wajah yang hangat dan sikap badan yang setara dengan anak akan memberikan rasa nyaman dan tenang bagi anak sehingga dapat menyerap informasi dengan baik.
ASPEK MOTORIK
Pada usia 0 – 6 bulan, sebaiknya anak diberikan stimulus berupa suara, gerak dan dan warna untuk mengembangkan kemampuan motoriknya seperti menoleh dan meraih benda yang ada di sekitarnya. Saat ini, anak mulai melatih koordinasi antara pengelihatan dan gerak tangan untuk meraih benda tersebut. Kemampuan motorik halus mulai berkembang saat anak belajar menggenggam dan akan meningkat untuk memanipulasi objek yang lebih kecil. Menjelang usia 1 tahun, anak akan mengembangkan kemampuan motorik kasarnya mulai dari merangkak hingga berjalan. Melatih anak untuk mengembangkan kemampuan motorik kasar (berjalan, melompat, menendang, naik turun tangga) dan kemampuan motorik halus (memegang alat tulis, menggunting, melipat, mengancing dan menarik zipper) dapat mengembangkan rasa percaya diri dan kemandirian pada anak.
Kita harus menyadari bahwa sebagai orang tua, kita tidak akan selamanya mendampingi anak di setiap waktu, suatu saat ia akan berada jauh dari kita. Memberikan pertolongan terus-menerus pada anak akan menyebabkan daya juang anak untuk berusaha menjadi rendah, anak rentan stres atau merasa tertekan saat melakukan suatu tugas bahkan yang nampak sederhana sekalipun.
Mungkin akan lebih cepat dan mudah bagi kita untuk membantu memakaikan jaket dan sepatu anak saat akan berpergian daripada menunggu anak untuk menyelesaikannya secara mandiri namun manakah yang merupakan nilai investasi kebajikan untuk anak?
ASPEK EMOSIONAL
Aspek emosional memegang peranan yang tak kalah penting dalam keberhasilan seseorang di masa yang akan datang. Oleh sebab itu, mengembangkan kecerdasan emosi anak juga harus menjadi perhatian orang tua. Dinamika emosi yang nampak ekstrim mulai terlihat saat anak memasuki usia 2 tahun, dikenal dengan masa tantrum. Di masa ini, anak akan nampak menunjukkan perilaku seperti memukul, menangis dengan suara keras, menjerit, berguling-guling di tanah dll apabila mereka tidak mendapatkan apa yang mereka minta. Perlu dipahami orang tua bahwa anak menunjukkan perilaku tersebut karena anak masih bersifat egosentris, kemampuan bahasanya masih terbatas, dan belum dapat mengelola negatif (kecewa, marah) dengan baik. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua saat menghadapi anak tantrum:
- Tetap tenang, tidak terpancing emosi marah serta berteriak.
- Bantu anak untuk menenangkan diri dengan mengajaknya untuk menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Katakan bahwa kita tidak dapat mengerti kemauannya bila ia masih menangis.
- Bila anak mulai reda tangisnya, tanyakan kepada anak mengenai apa yang mereka inginkan. Gunakanlah kalimat langsung bila anak belum lancar bicaranya sehingga anak hanya memberikan jawaban dengan mengangguk atau menggeleng. Bila anak sudah dapat berkomunikasi, bimbing anak untuk membuat kalimat.
- Bantu anak untuk mengenali emosi yang dirasakan anak saat keinginan mereka dapat terpenuhi, misalnya “Kakak merasa sedih saat mama tidak bisa membelikan kakak balon ya?” atau “Adik merasa marah karena tidak dibelikan ice cream?”. Mintalah anak untuk memberikan jawaban dengan kata-kata ataupun gerak kepala.
- Berilah rasa empati kapada anak atas perasaannya, misalnya “Mama memahami adik merasa sedih karena mama tidak membelikan ice cream”.
- Berilah alasan yang dapat dipahami anak mengapa kita tidak mengabulkan keinginannya, alasan tersebut sesuai fakta misalnya kesehatan, masih memiliki barang yang serupa di rumah, kemarin sudah dibelikan, dll. Hindari penjelasan bahwa mama merasa malu apabila kakak/adik menangis.
Sebagai orang tua terkadang kita tidak tega melihat anak kita bersedih, mungkin terpikir juga dalam benak kita takut dinilai negatif oleh orang lain terutama bila mengingat tak seberapa harga barang permintaan anak. Ingatlah bahwa ini adalah proses pembelajaran dan pembiasaan anak untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak dan orang lain tidak ikut menanggung konsekuensi jangka panjang terhadap karakter anak kita. Pada usia 4 tahun seharusnya masa tantrum anak sudah mulai berkurang.
ASPEK SOSIAL
Mengajarkan anak untuk menjalin relasi dengan orang lain dapat dilakukan dengan mengajak anak mengenal identitas diri, memperkenalkan diri ke orang lain, berbagi mainan atau makanan ke saudara atau teman, melakukan negosiasi untuk mencapai hasil, memotivasi diri sendiri saat kalah dalam permainan. Pada usia 2 tahun sebaiknya anak mulai belajar membina hubungan dengan teman sebaya, tentu saja dengan pengawasan orang tua. Memasuki usia 5 tahun sebaiknya anak sudah mampu secara mandiri menjalin relasi dengan teman sebaya karena anak sudah memasuki usia persiapan sekolah.
ASPEK MORAL
Moral dapat diartikan sebagai hati nurani yang dapat memberi tahu seseorang apakah perbuatannya tersebut benar atau salah. Penilaian benar atau salah menurut aturan sosial dan agama. Orang tua memegang peran penting dalam pengembangan moral anak. Pada tahap awal, diperlukan pengawasan dari orang tua untuk melakukan koreksi pada perilaku anak dan diharapkan kelak dewasa nanti anak sudah mampu membedakan baik dan salah secara mandiri. Oleh sebab itu, penting menjadi perhatian orang tua bahwa saat anak mempelajari nilai yang benar dan salah maka sebaiknya orang tua menghindari hukuman untuk anak. Misalnya : saat anak menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi maka orang tua sebaiknya orang tua tidak mengatakan anak pembohong dan memberinya hukuman. Hukuman akan membuat anak menarik diri dari orang tua dan cenderung akan menyembunyikan kesalahan lagi, bukan belajar memperbaiki diri dari kesalahan. Anak harus belajar menerima konsekuensi dari perbuatannya bukan belajar menerima hukuman.
Demikianlah, sebagai orang tua sebaiknya kita tidak disibukkan dengan menjaga image (tidak meminta maaf kepada anak saat kita berbuat salah) atau berusaha bersikap sebagai sahabat yang baik sehingga tidak memberi aturan dan mengijinkan anak untuk berbuat apapun (melompat-lompat di kasur, mencoret dinding, menaruh barang di sembarang tempat, dll). Semua itu tidak akan membantu anak berkembang secara optimal. Tumbuh kembang anak akan menjadi optimal jika orang tua memberikan stimulasi yang tepat pada 5 aspek psikologi anak sebagaimana tersebut diatas.
(May Yustika Sari, M.Psi., Psikolog)